Memasuki abad ke-20 tanah Betawi kokoh dalam cengkraman penjajah Belanda. Hampir 3 abad penjajah menikmati kehidupan diatas keringat dan darah serta air mata penduduk pribumi Betawi.
Penjajah dengan segala daya dan upaya memeras keringat penduduk melalui tuan tanah, para mandor, para centeng, dan bukan saja keringat bahkan tulang sumsum penduduk Betawi akan diperas jika memberikan keuntungan kepada mereka.
Pak Piun memandang langit mendung, sementara isterinya bu Pinah duduk di bale-bale depan rumah sambil memegang perut yang kian membesar. Beberapa hari lagi isterinya akan melahirkan anak yang ke empat. Tiga anaknya duduk di dekat ibunya, sambi! bertanya, "Mengapa padi yang baru dipanen dirampas centeng Babah" bu Pinah mengusap kepala anaknya sambil berkata lirih, " Biarin tong, lagian padi kite masih ada."Pak Piun tetap memandang langit yang mendung, berharap kepada yang maha kuasa agar isterinya melahirkan dengan selamat.
Pak Piun menitikkan airmata bahagia, anak yang ke empat lahir dengan selamat. Digenggamnya tangan isterinya seraya menyatakan puji syukur kehadirat Allah,"Siapa nama anak kita?" isterinya tersenyum bahagia, terlupakan beban berat penindasan kompeni penjajah beserta cecunguk-cecunguknya.
Pak Piun memberi nama anaknya dengan nama Pitung, isterinya menganggukan kepala tanda setuju.
Pitung lahir ditanah Betawi. Ia anak ke empat dari pasangan suami-isteri pak Piun dan bu Pinah. Ke-3 saudaranya masing-masing bernama Miin, Kecil,Anise. Pitung lahir di kampung Rawabelong, kampung tersebut menjadi bagian dari partikelir Kebayoran. Tuan tanah yang berkuasa di Kebayoran adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir diperoleh dari pemerintahan Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kewajiban membayar pajak kepada Belanda. Tanah partikelir tersebut, Liem Tjeng Soen mengangkat centeng dari kalangan priburni yang bertugas menagih pajak kepada penduduk. Pitung masih kecil, tidak mengerti tentang tanah partikelir, mengapa padi, ayam dan kambing bapaknya diambil sewenang-sewenang oleh para centeng. Pitung menyaksikan sambil bertanya kepada bapaknya, ''mengapa ayam kita diambilin?"
Pitung menanjak dewasa. Perawakannya tidak terlalu tinggi dan tdak terlalu rendah, sekitar 165-an em, kulitnya kuning, rambutnya keriting. Pitung dibesarkan didalam keluarga pak Piun, sebagaimana anak Betawi pada umunnya Pitung memperoleh Pendidikan tata krama dari bapak dan ibunya, belajar mengaji, membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa, meneari rumput untuk kambing mereka, adakala Pitung membantu tetangganya. Pitung anak yang rajin mengerjakan perintah Allah, tidak pernah meninggalkan shalat, berpuasa, bertutur kata yang sopan, selalu memenuhi panggilan ibu-bapaknya.
Untuk menambah pengetahuan agama, Pitung belajar mengaji dengan Haji Naipin, seorang kiyai terkemuka di kampung Rawabelong. Selain mengaji, Pitung juga belajar ilmu silat dan ilmu bela diri lainnya pada Haji Naipin. Dalam menuntut ilmu tersebut, Pitung tergolong cerdas, patuh dan taat terhadap Petunjuk sang guru Haji Naipin. Karena ketekunan, keikhlasannya untuk menuntut ilmu, Haji Naipin menjadi sayang kepadanya, dan menaruh harapan kepadanya untuk menjadi penggantinya di kemudian hari. Haji Naipin meneurahkan semua ilmu yang dimilikinya kepada Pitung. Ilmu Paneasona, sebuah ilmu bela ciri tingkat tinggi yang membuat pemilik ilmu kebal dari benda tajam nusuh diberikan haji Naipin kepada Pitung. "Ilmu ini buat membela orang lemah dari kezaliman, bukan untuk menzalimi orang lain" demikian Jesan haji Naipin.
Sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu agama dan ilmu bela diri, Pitung selalu rendah hati. Kerendahan hatinya membuat ia banyak teman. Diantara teman-temannya seguru seilmu yang dekat sekali adalah Dji'i dan Rais. Pitung juga tak luput dari gejolak perasaan orang muda, ia menjalin tali kasih dengan Aisyah gadis kampung Rawabelong, keduanya bersepakat untuk membina rumah tangga di kemudian hari bila sudah pantas untuk membina rumah tangga.
Berbekal ilmu yang dimiliki, baik ilmu agama dan ilmu bela diri, Pitung membaktikan dirinya untuk ibu bapaknya serta masyarakatnya di Rawabelong. Pitung turut membantu bapaknya menanam padi, menggembalakan kambing, membantu para tetangganya dan setiap yang membutuhkan uluran tangannya. Adakalanya Pitung datang membantu meskipun tidak diminta, hal ini merupakan penerapan dari ilmu agama yang dimilikinya, bahwa membantu orang lain adalah pekerjaan yang baik sebagai amal soleh. Karenanya Pitung dikenal luas sebagai pemuda yang murah hati di masyarakatnya.
Sebagai pemuda Rawabelong, Pitung menyaksikan dengan mata kepalanya segala tindak tanduk kezaliman para centeng tuan tanah Kebayoran Liem Tjang Soen kezaliman Pemerintah Penjajah serta para serdadu Hindia Belanda yang dibantu oleh Demang Kebayoran, yang menagih pajak secara paksa atas para penduduk kampung Rawabelong. Pitung tidak dapat membiarkan kezaliman tersebut berlangsung di depan matanya. Sebagai pemuda, darahnya mendidih menyaksikan kesewenang-wenangan penjajah beserta kaki tangannya, ingin rasanya memberikan pelajaran kepada mereka, namun ibu bapaknnya menentramkan kemarahan hatinya, "jangan Tung ... dia orang punya kuase, nanti juga ada balasan buat mereka", terus ibunya membujuk agar Pitung mengurungkan niatnya. Pitung memenuhi permintam ibunya, tetapi hatinya bergejolak, kezaliman harus dilawan, bukankah
ia selama ini belajar ilmu agama, yang menyuruh untuk Amar ma'ruf Nahi Munkar, tegakkan kebaikan cegah kemungkaran.
Karena seringnya menyaksikan kezaliman yang dilakukan oleh para centeng terhadap penduduk Rawabelong, Pitung akhirnya turun tangan. Centeng yang petentengan merampas hak milik penduduk dipermalukan Pitung. Dengan bekal ilmu bela diri yang dikuasainya, Pitung mencegah centeng tersebut dalam merampas hak milik penduduk. Si centeng menjadi murka dan menghajar Pitung yang dikiranya tak memiliki kepandaian bersilat. Pitung menyambut serangan si centeng dan dengan mudah membekuknya, si centeng jadi malu dan bangkit pergi tanpa dapat membawa barang apapun. "Awas lu, gua laporin sama Demang", centeng pergi ngeloyor tanpa muka dibawah tatapan dan ejekan penduduk.
Pitung dipanggil bapaknya, ia diminta menjualkan kambing ke pasar Tanah Abang. Bapaknya sangat memerlukan uang untuk keperluan biaya hidup keluarga mereka, "Tung gua butuh duit, lu jual gih kambing kite dua ekor", ujar bapaknya. "Aye, pak!" sahut Pitung. Segera Pitung mengeluarkan dua ekor kambing dari kandangnya, kemudian menuntun kambing tersebut ke pasar Tanah Abang dengan berjalan kaki menelusuri jalan setapak kemudian melewati pinggiran jalan kereta api sampai ke pasar Tanah Abang.
Di pasar Tanah Abang Pitung menjual kambingnya kepada pedagang kambing. Setelah terjadi penawaran dan kecocokan harganya, Pitung menerima uang penjualan kambingnya. Uang tersebut ditaruh di saku baju bagian bawah, dan Pitung segera kembali ke rumahnya.
Ketika Pitung melangkah pulang, beberapa maling mengikutinya. Pitung tidak mengetahui kalau orang yang mengikuti perjalanannya adalah para maling yang ingin mencuri uang di kantongnya. Para maling tersebut terus mengikuti. Pitung tidak menaruh curiga terhadap mereka. Di tengah perjalanan terdengar adzan dari sebuah langgar, Pitung segera menghampirinya untuk menunaikan kewajibannya melaksanakan shalat dzuhur. Pitung membuka bajunya, menyangkutkan ke dinding musolla, kemudian turun ke kali mengambil air wudhu, tak ada rasa curiga sedikit pun terhadap orang yang mengikuti perjalanannya, kesempatan demikian dimanfaatkan para maling untuk mengambil uangnya.
Pitung mengenakan bajunya dan masuk kedalam musolla untuk shalat, sementara orang yang mengikutinya ke kali mengambil wudhu. Ketika selesai shalat dzuhur, Pitung tidak menemukan orang yang mengikutinya sejak dari pasar Tanah Abang.
Pitung segera kembali kerumahnya, pak Piun sangat gembira, menyangka Pitung pulang dengan membawa hasil penjualan kambing; "Tung, mane Tung duwitnya ?" tanya pak Piun gembira "Duwitnya ilang, pak, dicopet orang," jawab Pitung polos. "Ape, duwitnye ilang? lu pake kali," bapaknya tidak percaya. "Benar ilang Pak, aye kagak pakek," Pitung mencoba menyakinkan Bapaknya. Bapaknya menjadi berang dan berkata padanya, "Lu musti nemuin itu duwit, kalo kagak ketemu,lu jangan pulang."
Pitung segera kembali ke pasar Tanah Abang mencari orang yang mencuri uangnya. Pitung menemukan mereka. Melihat Pitung mendekati, mereka menghampiri Pitung, salah seorang berkata, "Tung gua tahu keberanian lu, baiknya lu jadi pemimpin gua aja Tung, pokoknya beres deh lu bakal banyak duwit." "Pemimpin apa ?" ujar Pitung. "Jadi pemimpin gua Tung, buat ngerampokin duit orang." ujar orang itu melecehkan, Pitung diam saja, orang itu melanjutkan, "Lu yang ngawasin dan mimpin, kita yang ngerampok."
"Ape ngerampok ? Ah gue kagak mau, sebaiknya duit gue yang lu ambil, pulangin!" kelihatan Pitung menahan amarah. "Pokoknya duwit lu kagak gue kembaliin kalo lu nggak mau jadi pemimpin gue," orang itu mengejek.
Ejekan tersebut membuat Pitung marah. Pitung segera mencekal leher orang tersebut. Ternan-ternan orang tersebut segera menghampiri untuk mengeroyok Pitung. Dengan sigap Pitung melayani perkelahian. Dalam waktu singkat para kawanan pencopet itu dapat dibekuknya. Pitung mengambil uangnya, dan segera kembali kerumahnya. Dengan rasa bangga Pitung menyerahkan uang tersebut kepada pak Piun.
Sejak peristiwa tersebut, Pitung terpanggil untuk membela penduduk yang tertindas oleh perlakuan sewenang-wenang para penguasa pribumi, para centeng, para tuan tanah dan Belanda yang merampas hak milik penduduk. Setiap centeng yang terlihat merampas hak milik penduduk, Pitung memberikan pelajaran kepada centeng tersebut.
Para centeng yang diberi pelajaran oleh Pitung sebagian insyaf dan tidak mau Iagi bekerja pada tuan tanah maupun Belanda, dan sebagian lagi melaporkan kejadian tersebut kepada tuan tanah. Tuan tanah melaporkan kepada penguasa penjajah Belanda tentang tindaktanduk Pitung. Pitung dinilai telah menghambat tegaknya kekuasaan penjajah di Rawabelong. Akibatnya Pitung mulai dimata-matai oleh aparat penguasa penjajah Belanda.
Pitung menyaksikan penderitaan penduduk yang dirampas hak miliknya oleh para centeng, tuan tanah dan Belanda, dia bertekad untuk mengembalikan hak-hak penduduk tersebut. Untuk itu Pitung dan temannya Dji'in dan Rais menjalankan aksi mengambil harta yang ada ditangan para tuan tanah, penguasa pribumi, dan orang-orang kaya yang berpihak dengan Belanda.
Bagi Pitung, pengambilan secara paksa adalah halal karena harta tersebut pada dasarnya milik penduduk yang diambil juga secara sewenang-wenang. Tidaklah berdosa merampas harta para perampas. Harta yang dirampas si Pitung dan teman-temannya tersebut dikembalikan lagi kepada penduduk. Pitung melaksanakan operasi perampasan sampai ke Jembatan Lima dan Marunda.
Dalam suasana demikian pihak ketiga menumpang lewat, ikut melaksanakan perampokan mengatasnamakan si Pitung. Sehingga si Pitung terkenal di pelosok Betawi sebagai perampok. Para tuan tanah, orang kaya pro-Belanda menjadi tidak tentram, mengadukan kepada penguasa penjajah.
Penguasa penjajah di Batavia memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Pitung. Schout Heyne Kontrolir Kebayoran memerintahkan mantri polisi serta demang dan bek untuk mencari tahu dimana Pitung berada. Schout Heyne menjanjikan uang yang banyak bagi siapa saja yang bisa menangkap Si Pitung hidup atau mati. Tidak itu saja, barang siapa yang bisa memberikan keterangan dimana Si Pitung berada akan diberi hadiah.
Pitung mengetahui dirinya diburon oleh penguasa penjajah beserta para cecunguknya. Karena Pitung berpindah-pindah tempat, sampai ke Marunda. Meskipun diburon, Pitung tetap melaksanakan operasi perampasan harta orang kaya, penguasa pribumi para demang dan Tuan Tanah. Hasil perampasannya dibagi-bagikan kepada penduduk yang miskin akibat pemerasan yang dilakukan para tuan tanah, centeng dan Belanda.
Karena suka membantu penduduk dalam menghalangi para centeng memeras serta suka membagi uang hasil rampasan, Pitung menjadi idola penduduk yang tertindas oleh kekejaman para centeng, tuan tanah dan Belanda. Meskipun Pitung diburon tetapi selalu tidak dapat ditelusuri jejaknya. Para penduduk selalu menyembunyikan Pitung di rumah mereka, bahkan seorang pedagang Cina pernah menyembunyikan Pitung ketika dicari oleh kaki tangan penjajah.
Ada masa tidak beruntung. Suatu ketika Pitung melakukan aksi perampasan bersama beberapa kawannya, kedatangan mereka telah diketahui oleh kaki tangan tuan tanah. Serdadu Belanda yang dipimpin mantri polisi Kabayoran telah bersiaga dengan senjata. Ketika rombongan Pitung akan memasuki sebuah rumah milik tuan tanah,terdengar tembakan yang mengarah kepada mereka. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi kentongan bertalu-talu tuan tanah eina dan demang telah menggerakkan para pemuda yang banyak sekali. Si Pitung dan kawan-kawannya telah terkepung. Pitung dan kawan-kawannya berusaha untuk melarikan diri karena tidak mungkin, menghadapi ratusan serta puluhan serdadu bersenjata.
Teman-temannya meloloskan diri, sementara Pitung sengaja membiarkan diri untuk ditangkap agar teman-temannya dapat lolos. Pitung akhirnya ditangkap serdadu, dibawa ke kantor Kontrolir Scout Heyne. Schout Heyne terheran-heran ketika mengetahui siapa sebenarnya Pitung yang selama ini menjadi momok. Schout Heyne menyangka Pitung orang tinggi kekar dan bertampang seram, ternyata Pitung orangnya sederhana, air muka yang jernih, tak terlihat perasaan bersalah. "kamu orang nama
Pitung ? Kamu perampok ? Kamu orang jahat" Schout Heyne menghardik Pitung. Pitung kelihatan tenang tanpa rasa takut, menantang tatapan mata Schout Heyne dan berkata, "Tuan dan orang-orang tuan yang jahat, ngerampok harta penduduk, membuat bangsa kami susah."
"Kamu orang berani sama Belanda ?"
"Mengapa takut." Scout Heyne memerintahkan serdadu Belanda memasukan Si Pitung ke dalam penjara. Pitung dipenjarakan di penjara Grogol.
Didalam penjara Grogol Pitung tidak kerasan. Pitung memikirkan nasib penduduk yang dirampas hak miliknya oleh Belanda beserta tuan tanah, demang dan para centeng. Di dalam penjara tentulah Pitung tidak dapat membantu - penduduk. Pitung memutar otak bagaimana caranya ia bisa lolos dari penjara. Kepada para ternan yang sarna-sarna berada dalam penjara CrogoI, Pitung mengancam mereka "Kalu lu semua bilang gua lolos dari genteng, lu semua gue bunuh." Karena ancaman Pitung tersebut, mereka semua tutup mulut. Pada malam hari, penjaga terkantuk-kantuk dan sempat lelap sejenak, segera Pitung memanjat dinding ruang tahanan, menjebol plapon, membuka genteng, keluar melalui bubungan atap penjara, melompat keluar. Pitung lolos dari penjara Grogol. Teman-temannya dalam penjara saling tutup mulut. Ketika penjaga penjara memeriksa tahanan, Pitung tak terlihat mereka ditanyai penjaga, tak satupun memberi tahu. Penjaga penjara menjadi heran dan saling bertanya sesamanya. "Kemana Si Pitung ?" "Gua kagak tahu."
"Apa Si Pitung bisa ngilang ?
"Mungkin saja, buktinya kapan ada di kamarnya"
Si Kecill abang Pitung mencari Pitung kesana kemari dan ternyata tidak juga bertemu. Karena tidak ada hasil, pak Piun disiksa oleh penjajah Belanda. Si Kecill juga disiksa oleh penjajah Belanda. Karena tidak tahan memperoleh siksaan, pak Piun menantang "Bunuh saja aye".
Belanda juga menangkap Haji Naipin, menyiksanya. Karena siksaan Belanda, Haji Naipin bersedia mencari Si Pitung. Haji Naipin dengan kawalan serdadu Belanda yang bersenjata lengkap mencari Si Pitung keluar-masuk kampung. Penduduk yang ditanyai tidak satupun yang memberitahu dimana Pitung disembunyikan, para penduduk menyaksikan Haji Naipin diseret, disiksa karena tidak dapat menemukan Pitung. Beberapa orang penduduk memberitahukan kepada Pitung tentang keadaan Haji Naipin, pak Piun, Si Kecil yang disiksa oleh Belanda.
Pitung sangat berang mendengar ceritera penduduk. Pitung biasanya bersembunyi pada siang hari, akhirnya keluar untuk mencari gurunya, bapaknya serta abangnya yang berada ditangan penjajah. Di Kota Bambu Pitung menampakkan diri ketika gurunya lewat dibawah todongan senjata serdadu Belanda. "Lepasin guru gue, yang kalian cari gue, bukan die lepasin" ujar Pitung sambil berdiri menghadang Scout Heyne yang ikut rombongan mencari Si Pitung sangat gembira, buruannya selama ini kini ada di depan mata. Scout Heyne tertawa kemudian memerintahkan serdadu untuk mengepung Si Pitung. Sementara beberapa serdadu menodongkan senjata kepunggung Haji Naipin. "Kalau kamu orang melawan, dia orang kami tembak, mengerti kamu?" Scout Heyne mengancam Si Pitung.
Mendengar ancaman tersebut, Pitung menjadi gusar dan luluh. Tak tega ia melihat gurunya hams mati tertembak karena perbuatannya. Tetapi untuk menyerah, ia merasa enggan, namun terbayang nasib pak Piun yang didalam penjara Belanda. Pitung pasrah untuk ditangkap tetapi tidak akan menyerah begitu saja.
Pitung berdiri terpaku, sementara para serdadu Belanda dalam posisi siaga tembak. Scout Heyne mengacungkan pistolnya, memutar-mutar gagang pistol sambil menyembunyikan senyum ejekan kepada Si Pitung. " Lepasin die, kalian busuk semua, menghalalkan segala cara." ujar Pitung berang. " Kita orang tidak bodoh Pitung ! " Scout Heyne berujar Iantang. Kemudian Scout Heyne memerintahkan serdadunya yang menodong senjata kepada Haji Naipin untuk melepaskan Haji Naipin dari todongan, namun tetap diwaspadai.
Haji Naipin yang agak bebas berdiri, tidak tega melihat Pitung terkepung oleh para serdadu Belanda yang siaga tembak. Haji Naipin merogoh sakunya yang berisi telur busuk, menimang-nimang telur busuk tersebut. Haji Naipin berharap, bila telur tersebut dilemparkan ke badan Pitung, bila Pitung melawan dan tertembak, maka ia dapat menyembuhkan Si Pitung.
Scout Heyne yang perasaannya takut bila Pitung melawan maka dengan segera mengambil keputusan untuk memerintahkan serdadunya menembak. Saat yang hampir bersamaan Haji Naipin terlebih dahulu melemparkan telur busuk ke badan Si Pitung Scout Heyne berteriak lantang " Tembak !" bersamaan dengan itu terdengar letusan bedil serdadu Belanda. Beberapa peluru menghujam kebadan Pitung, Pitung berdiri terpaku menatap Scout Heyne. Pitung tak menyangka Scout Heyne berlaku curang padahal beberapa saat sebelum Haji Naipin melemparkan telur busuk, Pitung telah memberi tanda mengangkat kedua belah tangannya sebagai pertanda bersedia menyerah. Pitung marah sekali dan melontarkan kata, " Heyne mulai hari ini Iu menjadi musuh gue dan akan gue hisap darah lu." Scout Heyne kembali memberi komando "Tembak !" Beberapa peluru kembali menerjang tubuh Pitung. Karena ajal Pitung sudah tiba sesuai ketentuan Allah tentang mati hidupnya seorang hamba, malaikat Izrail mencabut nyawanya.
Pitung rubuh bersimbah darah, jatuh ke bumi. Pitung gugur,sebagai pejuang bangsanya dalam melawan penindasan Belanda beserta kaki tangannya.
Jenazah Pitung diangkut oleh Belanda, dibawa ke kantor Asisten Residen. Scout Heyne dengan bangga melaporkan hasil kegiatannya dalam melumpuhkan aksi perlawanan Pitung. Asisten Residen cuma diam saja, kemudian memerintahkan agar Si Pitung dikuburkan di Pejagalan. Kuburan Si Pitung selama 6 bulan dijaga karena beberapa demang melaporkan bila tidak dijaga, mayatnya akan di bongkar, dibawa ke perkampungan dan dapat dihidupkan kembali oleh gurunya Haji Naipin. Haji Naipin, pak Piun dibebaskan oleh Belanda. Beberapa hari kemudian Scout Heyne dipanggil Asisten Residen, pangkatnya dicopot atau di berhentikan sebagai kontrolir karena bertindak yang tidak pantas sebagai tentara dan sangat memalukan karena menembak orang yang tidak melawan.
Nilai-nilai yang dapat diambil :
- Sebagai manusia kita harus berbuat Amar Ma’ruf ahi Munkar
- Boleh berbuat baik namun harus dengan cara yang baik juga
- Kematian tidak bisa di hindari jika sudah ditentukan takdir
- Menghadapi para penjajah tidak hanya memerlukan otot , namun juga otak
- Mencuri adalah salah biarpun beralasan untuk mengembalikan harta orang lain atau demi kebaikan orang lain
- Bertindak berlebihan pada suatu hal bisa berakibat kurang baik
Refrensi :
http://www.jakarta.go.id/v70/index.php/en/cerita-rakyat-betawi/2106-si-pitung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar